Desa Wisata
Ganjuran, Bantul, DIY
Beberapa hari yang lalu saya bersama
teman-teman seangkatan D3 Kepariwisataan Universitas Gadjah Mada berkunjung ke
salah satu desa wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mungkin, nama desa wisata
ini masih terdengar asing di telinga sebagian masyarakat luar, karena desa
wisata ini masih tergolong desa wisata berkembang, sehingga tugas kita sebagai
wisatawan yang baik dan warga Indonesia yang mencintai kekayaan budayanya perlu
membantu dalam mempromosikan maupun mendukung segala aktifitas yang dapat
mengembangkan desa wisata ini. Meski begitu, bukan berarti desa wisata ini
kalah atau buruk dari desa wisata lainnya, namun Desa Wisata Ngringinan ini
cukup memiliki keunikan tersendiri di mata masyarakat lokal dan wisatawan, kita
bisa menjelajahi Bantul dari sisi yang berbeda. Ketika kita disana, kita akan
disambut oleh penduduk lokal yang ramah dan bersahaja. Suasana pedesaan dan
kegiatan masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan membuat saya cukup nyaman untuk menikmatinya. Saat
itu saya juga diajak untuk menelusuri jejak Bantul di masa penjajahan Belanda,
yakni Museum Bantul Masa Belanda yang menyimpan banyak benda, foto, dan
film dokumenter tentang beberapa peninggalan Belanda di akhir tahun 1800-an dan
di awal tahun 1900-an di Bantul dan sekitarnya. Museum ini cukup sederhana,
yang terdiri dari beberapa ruangan, namun cukup dapat menggambarkan suasana
Bantul pada zaman itu.
Selain
itu, saya juga mengunjungi tempat iconic yang
terdapat di desa wisata ini, yakni Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, yang
letaknya tidak jauh dari museum tersebut dibangun. Gereja ini mulai dibangun
pada tahun 1924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer
dan Julius Smutzer. Bangunan ini dirancang dengan perpaduan gaya Eropa, Hindu
dan Jawa. Gaya Eropa dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib, sementara
gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan sebagai
atap tempat ibadah. Atap itu disokong oleh empat tiang kayu jati, melambangkan
empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Nuansa Jawa juga
terlihat pada altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont
(wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan
Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga digambarkan tengah memakai
pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada tiap pemberhentian jalan salib,
Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta Hindu.
Gereja ini
menawarkan sentuhan rasa yang berbeda dari gereja pada umumnya. Kita akan disuguh dengan bangunan candi yang
dinamai Candi Hati Kudus Yesus dengan teras berhias relief bunga teratai dan
patung Kristus dengan pakaian Jawa. Saya pun banyak menemui banyak orang yang
melaksanakan ibadah/ziarah di candi ini dengan khidmat. Pertama, peziarah bisa
menuju tempat pengambilan air suci yang berada di sebelah kiri candi. Setelah
mengambil air suci, anda bisa duduk bersimpuh di depan candi dan memanjatkan
doa permohonan. Prosesi ibadah diakhiri dengan masuk ke dalam candi dan memanjatkan
doa di depan patung Kristus. Beberapa peziarah sering mengambil air suci dan
memasukkannya dalam botol, kemudian membawa pulang air itu setelah didoakan.
Tidak
hanya menawarkan atraksi wisata berupa bangunan, Desa Wisata Ngringinan cukup
terkenal dengan pembuatan makanan tradisional, yakni madumongso. Ketika di Desa
Wisata Ngringinan, salah satu pengelola desa wisata ini menunjukkan beberapa
madumongso yang dapat kita beli. Apabila berminat, wisatawan pun dapat
mengikuti dan membantu dalam proses pembuatannya bersama masyarakat lokal. Cita
rasa dari madumongso khas Desa Wisata Ngringinan ini cukup legit dan berbeda
dari madumongso lainnya, khususnya madumongso dari Jawa Timur. Menurut
keterangan dari beberapa pengelola desa wisata ini, Desa Wisata Ngringinan juga
banyak didatangi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara, salah satunya
UNIDA Gontor. Sebenarnya, di desa wisata ini kita tidak hanya melihat dan
merasakan hal yang sudah saya paprkan saja, namun banyak hal lainnya yang dapat
kita nikmati di tempat ini. Misalnya, wisatawan dapat menikmati suasana dan
berinteraksi dengan masyarakat lokal di desa wisata ini lebih lama dapat
menginap di homestay-homestay yang disediakan oleh masyarakat lokal. Selain
itu, sensasi membajak sawah, membuat patung kayu, dan sebagainya. Namun, karena
waktu saya kemarin cukup terbatas, jadi hanya itu saja yang bisa saya ceritakan
J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar