Rabu, 14 Maret 2018

Manajemen Desa Wisata VII : Pentingnya Lembaga dalam suatu Desa Wisata

Lembaga dalam suatu Desa Wisata

            Faktor pendukung dalam pengembangan dan kemajuan suatu desa wisata, salah satunya ialah adanya suatu lembaga/organisasi yang terjun secara penuh untuk saling bekerjasama dan berkoordinasi satu dengan yang lainnya. Dalam lembaga tersebut perlu melibatkan seluruh masyarakat lokal, baik anak-anak, remaja maupun orang tua dari segala latar belakang. Selain mengandalkan peran dari masyarakat lokal, kelembagaan tersebut dapat dibantu oleh pemerintah, akademisi, dan semacamnya sebagai wadah mengedukasi masyarakat lokal untuk menjadikan desa wisata tersebut memiliki kualitas yang tinggi. Sebesar apapun dan sebagus apapun potensi yang akan menjadi komoditas unggulan di suatu desa wisata, jika tidak ada suatu lembaga atau bahkan terbentuk suatu lembaga yang hanya sebagai formalitas, maka bisa dipastikan kegiatan pariwisata itu tidak akan lama, karena pariwisata dengan segala karakteristiknya tetap diperlukan pengelolaan yang profesional dan inovatif.  
Setelah melakukan diskusi kemarin, kelompok kami menyepakati bahwa dalam suatu desa wisata harus terdapat susunan lembaga yang jelas dan terstruktur, sehingga masyarakat lokal pun dapat bekerja sebaik mungkin sesuai dengan tugas dan kewajibannya masing-masing yang telah disepakati. Berikut contoh susunan lembaga yang baik di suatu desa wisata :
1.      Ketua Umum
2.      Wakil Ketua
3.      Bendahara I dan Bendahara II
4.      Sekertaris I dan Sekertaris II
5.      Sie Pemasaran
6.      Sie Home Industry
7.      Sie Seni dan Budaya
8.      Sie Keamanan dan Kebersihan
9.      Sie Homestay
10.  Sie Konsumsi
Di Yogyakarta, dapat kita lihat contoh dari desa wisata yang sangat baik dalam hal lembaga ialah Desa Wisata Kembang Arum. Di desa wisata ini dapat kita lihat adanya struktur lembaga yang sudah jelas sesuai dengan kebutuhan desa wisata tersebut. Masyarakat lokal begitu antusias dan saling bekeja sama antar-anggota dalam hal pembangunan desa wisata tersebut. Anggota lembaga (masyarakat lokal) tersebut sudah dibimbing dan diedukasi mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab. Bahkan, di desa tersebut dalam beberapa pekan sekali melakukan evaluasi untuk pembenahan sistem pelayanan, menampung keluhan wisatawan dan merencanakan inovasi untuk semakin menjadikan desa wisata tersebut lebih baik. Sehingga dengan adanya kelembagaan yang baik di desa wisata tersebut, tentu wisatawan akan merasakan kepuasan ketika berkunjung dan kesejahteraan m,asyarakat lokal pun semakin bertambah.
Namun, hal berbeda terjadi pada Desa Wisata Kauman. Di desa wisata ini memang terdapat suatu lembaga yang mengelola desa wisata tersebut, namun tidak begitu difungsikan atau sebagai formalitas saja. Ketika beberapa pekan lalu, seorang teman saya mengunjungi desa wisata tersebut, terdapat masyarakat lokal yang tidak mengetahui sedikitpun mengenai lembaga yang ada di desa tersebut dan peran belaiu sebagai masyarakat lokal daerah tersebut. Selain tidak melibatkan seluruh masyarakat lokal, desa wisata tersebut kurang menggunakan lembaga tersebt untuk update terhadap perkembangan desa wisata lainnya, sehingga tidak ada inovasi dari para anggota untuk diterapkan dalam pengembangan desa wisata tersebut. Maka tidak heran, apabila desa wisata ini dinilai kurang berkembang dibanding Desa Wisata Kembangarum.


Senin, 12 Maret 2018

Manajemen Desa Wisata VI : Desa Wisata Ngringinan



Desa Wisata Ganjuran, Bantul, DIY





            Beberapa hari yang lalu saya bersama teman-teman seangkatan D3 Kepariwisataan Universitas Gadjah Mada berkunjung ke salah satu desa wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mungkin, nama desa wisata ini masih terdengar asing di telinga sebagian masyarakat luar, karena desa wisata ini masih tergolong desa wisata berkembang, sehingga tugas kita sebagai wisatawan yang baik dan warga Indonesia yang mencintai kekayaan budayanya perlu membantu dalam mempromosikan maupun mendukung segala aktifitas yang dapat mengembangkan desa wisata ini. Meski begitu, bukan berarti desa wisata ini kalah atau buruk dari desa wisata lainnya, namun Desa Wisata Ngringinan ini cukup memiliki keunikan tersendiri di mata masyarakat lokal dan wisatawan, kita bisa menjelajahi Bantul dari sisi yang berbeda. Ketika kita disana, kita akan disambut oleh penduduk lokal yang ramah dan bersahaja. Suasana pedesaan dan kegiatan masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan membuat  saya cukup nyaman untuk menikmatinya. Saat itu saya juga diajak untuk menelusuri jejak Bantul di masa penjajahan Belanda, yakni Museum Bantul Masa Belanda yang  menyimpan banyak benda, foto, dan film dokumenter tentang beberapa peninggalan Belanda di akhir tahun 1800-an dan di awal tahun 1900-an di Bantul dan sekitarnya. Museum ini cukup sederhana, yang terdiri dari beberapa ruangan, namun cukup dapat menggambarkan suasana Bantul pada zaman itu.
Selain itu, saya juga mengunjungi tempat iconic yang terdapat di desa wisata ini, yakni Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, yang letaknya tidak jauh dari museum tersebut dibangun. Gereja ini mulai dibangun pada tahun 1924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Bangunan ini dirancang dengan perpaduan gaya Eropa, Hindu dan Jawa. Gaya Eropa dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib, sementara gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan sebagai atap tempat ibadah. Atap itu disokong oleh empat tiang kayu jati, melambangkan empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Nuansa Jawa juga terlihat pada altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont (wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga digambarkan tengah memakai pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada tiap pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta Hindu.
Gereja ini menawarkan sentuhan rasa yang berbeda dari gereja pada umumnya.  Kita akan disuguh dengan bangunan candi yang dinamai Candi Hati Kudus Yesus dengan teras berhias relief bunga teratai dan patung Kristus dengan pakaian Jawa. Saya pun banyak menemui banyak orang yang melaksanakan ibadah/ziarah di candi ini dengan khidmat. Pertama, peziarah bisa menuju tempat pengambilan air suci yang berada di sebelah kiri candi. Setelah mengambil air suci, anda bisa duduk bersimpuh di depan candi dan memanjatkan doa permohonan. Prosesi ibadah diakhiri dengan masuk ke dalam candi dan memanjatkan doa di depan patung Kristus. Beberapa peziarah sering mengambil air suci dan memasukkannya dalam botol, kemudian membawa pulang air itu setelah didoakan.
Tidak hanya menawarkan atraksi wisata berupa bangunan, Desa Wisata Ngringinan cukup terkenal dengan pembuatan makanan tradisional, yakni madumongso. Ketika di Desa Wisata Ngringinan, salah satu pengelola desa wisata ini menunjukkan beberapa madumongso yang dapat kita beli. Apabila berminat, wisatawan pun dapat mengikuti dan membantu dalam proses pembuatannya bersama masyarakat lokal. Cita rasa dari madumongso khas Desa Wisata Ngringinan ini cukup legit dan berbeda dari madumongso lainnya, khususnya madumongso dari Jawa Timur. Menurut keterangan dari beberapa pengelola desa wisata ini, Desa Wisata Ngringinan juga banyak didatangi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara, salah satunya UNIDA Gontor. Sebenarnya, di desa wisata ini kita tidak hanya melihat dan merasakan hal yang sudah saya paprkan saja, namun banyak hal lainnya yang dapat kita nikmati di tempat ini. Misalnya, wisatawan dapat menikmati suasana dan berinteraksi dengan masyarakat lokal di desa wisata ini lebih lama dapat menginap di homestay-homestay yang disediakan oleh masyarakat lokal. Selain itu, sensasi membajak sawah, membuat patung kayu, dan sebagainya. Namun, karena waktu saya kemarin cukup terbatas, jadi hanya itu saja yang bisa saya ceritakan J

Selasa, 06 Maret 2018

Kesenian Indonesia : Tokoh Wayang Arjuna


 

Arjuna adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia memiliki nama kecil Permadi, anak bungsu dari Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu puteri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan “wujud semesta” Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau “Nyanyian Orang Suci”, yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan “Dananjaya”. Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan “Parantapa”, yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki “Kurunandana”, yang artinya putera kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain “Kuruprāwira”, yang berarti “kesatria Dinasti Kuru yang terbaik”, sedangkan arti harfiahnya adalah “Perwira Kuru”. Diantara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat kusuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, “Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai”.
Arjuna dididik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar “Maharathi” atau “kesatria terkemuka”. Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya. Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
Sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas, saya merasa memiliki beberapa kesamaan karakter dan sifat dari tokoh wayang yang menjadi favorit penikmati seni wayang ini. Sosok Arjuna yang lemah lembut, rasanya cukup tertanam dalam diri saya. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa saya kalem, padahal saya merupakan seorang anak yang lahir di Jawa Timur, dimana masyarakatnuya terkenal keras. Meskipun terkadang saya suka marah dan ngedumel, bahkan hingga menyebabkan pertengkaran dahsyat, saya pun menyesal dan justru menanangisi sikap saya tersebut. Saya juga tidak tega untuk berkata kasar kepada seseorang atau mempermalukan seseorang, meskipun orang tersebut memang bersalah. Sama halnya ketika melihat orang lain kesakitan, merasa sedih, saya akan memberikan motivasi agar moodnya kembali membaik atau semangat hidupnya kembali bergairah, tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan Arjuna yakni mengasihi orang yang lemah pada masanya. Saya juga cukup cerdas dan teliti ketika melakukan sesuatu karena saya akan merasa puas ketika menghasilkan sesuatu yang maksimal sesuai dengan harapan saya. Selain itu, karena saya wanita Jawa, sudah tentu pasti saya dibekali ilmu kejawen, seperti hal tata krama atau sopan santun kepada orang lain, misalnya saya suka berbicara Krama Alus kepada orang yang lebih tua, ketika bertamu di rumah seseorang dan dijamu dengan makanan, setidaknya saya mencicipi dan setelah habis, saya membawanya ke dapur untuk saya cuci, dan sebagainya. Tokoh wayang Arjuna ini memang memiliki aura yang positif, sehingga sangat patut untuk dicontoh bagi semua kalangan dan generasi.






Sumber :